Langsung ke konten utama

Sir Alex : The Immortal



Butuh waktu sejenak untuk mencerna apa yang saya baca di hari rabu 8 Mei 2013 lalu. Sir Alex Retires, begitu sebuah judul singkat dari artikel di website resmi Manchester United membuat saya melorot sejenak dari kursi kantor yang selama ini memanjakanku dan membuatku berusaha menahan air mata yang tanpa disadari jatuh menetes.

Secara jujur, Sir Alex dan United bukan tim pertama yang aku lihat. Lahir di era keemasan Liga Italia tentunya aku menikmati AC Milan di season 87-88 dengan sosok Baresi, Maldini, Donadoni, Ruud Gullit dan tentunya Van Basten dan masih banyak bintang lainnya. Bahkan dengan menangis terharu saat Belanda dengan Trio Belandanya mengangkat trophy juara Eropa 88.

Ketika Liga Inggris bisa dinikmati, akupun termasuk satu diantara mereka yang menikmatinya dengan Ian Rush yang ada di penghujung karir, seorang John Barnes yang begitu bersinar dengan Liverpool. Namun ada satu tim yang permainannya berhasil menarik perhatianku sebagai bocah ingusan berusia 10 tahun yang tengah sotoy menikmati sepakbola di tengah gemerlap Liverpool. Ya, 23 tahun yang lalu aku berkenalan dengan Manchester United di bawah asuhan Sir Alex yang berhasil membuatku tertarik lebih dalam kepada sepakbola Inggris meskipun pada akhirnya mereka tidak menjadi juara. Tingkat intensitas menonton belum sebanyak sekarang karena terkendala jam tidur bagi anak yang masih berstatus pelajar sekolah dasar saat itu, terutama saat dirimu tinggal dengan seorang Nenek yang sangat tegas(baca:galak).

Sepanjang hidupku menonton United, selalu ada sosok bersorot mata lembut dan kebapakan terutama jika tertawa atau tersenyum di pinggir lapangan memimpin timnya dan membuatmu ingin berlari memeluknya. Tapi jangan salah, sosok itu bisa berubah menjadi berwajah masam dan menakutkan saat ada hal yang menurutnya tak sesuai hingga terkadang aku berpikir kebiasaannya mengunyah permen karet dilakukannya agar ungkapan kemarahannya di lapangan tak langsung meluncur keluar.
Ya, itulah Sir Alex yang aku tahu dan tanpa terasa sudah 23 tahun sejak aku pertama kali melihatnya di layar kaca. Sosok yang kian menua dan membuatmu kadang bertanya darimana kekuatan yang dimiliknya tersebut. Sosok yang membuatku tertarik pada United walaupun ya aku harus mengakui ada sosok lain yang akhirnya makin menguatkan ikatan hatiku dengan United. Tapi ya sudahlah, sosok yang satu lagi tak perlu diceritakan saat ini.

Sepakbola dan United, topik dan tim yang membuat seorang bocah pendiam bisa berkomunikasi dan menjalin pertemanan dengan anak-anak lain di sekolahnya dan mampu melupakan sejenak rasa rendah diri karena minim tinggi badannya dibandingkan dengan yang lainnya dan bahkan mendapatkan banyak teman setelahnya dan bisa bersenda gurau dengan mereka. Dan tentu saja selama ini Sir Alex telah menjadi bagian yang tak tergantikan di dalam tim yang dibanggakan si bocah kecil tersebut.

Tak pernah terbayangkan United tanpa Sir Alex meskipun sempat dibahas di thread forum. Pikiranku menolak membayangkan walau hatiku tahu tak ada yang abadi. Dan di rabu yang kusebut rabu kelabu tersebut konsentrasi bekerjaku merosot dan aku memutuskan untuk pulang sedikit lebih awal dan memberhentikan mobilku di pinggir pantai ancol untuk sejenak menarik nafas, mengontrol perasaan dan menghentikan tangisku. Iron Man 3 yang kuharapkan bisa menjadi pengalihan pun ternyata tak mampu membendung kesedihan. Hampir sepanjang film tersebut aku menahan diri untuk mencegah air mata keluar dan setelah tiba di rumah, kamar pun menjadi ruanganku untuk menumpahkan air mata yang selama ini ditahan. Takkan kulihat lagi Sir Alex memimpin United, takkan kulihat lagi kebiasaan melihat jam tangannya, wajah yang mengunyah permen karetnya atau ekspresinya di pinggir lapangan

Di pertandingan melawan Swansea hari minggu kemarin, semua kenangan seakan berputar kembali terutama saat di menit-menit akhir Rio berhasil mencetak gol penentu kemenangan. Sangat United sekali dan seperti yang dilakukan United selama ini. Ya, apa yang lebih baik dibandingkan dengan meraih kemenangan menit akhir di Old Trafford di pertandingan home terakhir untuk menghormati seorang yang telah memberikan begitu banyak waktu bahkan hidupnya untuk United.
Guard of Honour untuknya setelah match serta para pemain yang bersepakat Sir Alex yang akan menerima Piala Liga Inggris yang diserahkan untuk melihatnya mengangkat Piala tersebut sekali lagi untuk terakhir kalinya membuatnya menjadi proper farewell untuknya.



Seperti apakah United tanpa Sir Alex? Yang pasti Sir Alex telah memikirkan panjang dan mempersiapkan semuanya. Dia pergi saat semua sistem berjalan dan saat United di puncak kejayaan. Kini Sir Alex pun akan berkonsentrasi pada timnya yang lain, keluarganya. Para cucunya yang memakai jersey bernomor punggung 20 bertuliskan Grandad akhirnya akan mempunyai waktu lebih banyak dengan Grandad yang mereka cintai.

Dan dari berbagai ucapan tentang Sir Alex, sebuah ucapan dari Rafa Benitez I wish him health and hopefully he can enjoy his retirement seakan mewakili semua doa dari mereka baik yang merupakan pendukung United ataupun bukan.
Farewell Sir Alex, there will never be another you.
#IMMORTAL

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jika...

Jika indahmu tergapai tuk kumiliki mengapa harus kunanti waktu yang mengajakku menjauhi pelukanmu ... inspired by:nitz

Sepakbola Indonesia...ahh andai Garuda Di Dadaku

wmpfhh...sekali lagi sepakbola indonesia tercoreng! persipura walkout dan sriwijaya fc mempertahankan gelar...ahhh bagaimana bisa terjadi di laga final dan baru tertinggal 1-0 sedangkan masih banyak waktu untuk mengejar ketertinggalannya. sebagai penonton tentu kecewa padahal pertandingan berlangsung seru. sampai kapan akan terus begini? memang kalo dilihat kok final bisa di tempat yg tidak netral dan wasit kok bajunya agak2 nyaru yah? memang sih semua faktor sepertinya tidak berpihak ke persipura (tanya kenapa ke pssi) yahh terlepas dari itu seharusnya persipura menurutku harus tetap melanjutkan pertandingan dan membuktikan mentalnya. Saya bukan fans kedua klub tersebut, tapi sangat miris sekali melihatnya terlebih lagi siangnya baruu sajaa menonton film "garuda di dadaku" dan di situ nyata sekali nasionalismenya dan tentu saja kejadian ini membuat saya sebagai fans bola menjadi sedih.. apakah semuanya tentang menjadi yang paling benar? apakah semuanya harus selalu mengikuti

“I thank Ole for every single one of his goals” - by Andreas Budianto

Here's a story from my friend Andreas (you can follow his twitter @mr_ias and our home United Indonesia @UtdIndonesia), recently posted in www.thefaithfullmufc.com. A different side of Ole, you guys must read it. Here's the story : I believe that everyone will agree with me that the night in Barcelona 1999 was the most dramatic moment for all United fans. I hate to admit that I cried the last time I watch the 1998-1999 Season Review dvd and made my wife laugh at me. But for me, Ole deserves to be remembered for more than merely a goal in the 1999 Champions League Final. I couldn’t remember all of his goals but the one that I will never forget was on March 31st 2007, it was against Blackburn at home in the Premier League. That was the first season of AIG on our kit. I was new in town and would always watch our match at the Manchester United bar here with my girlfriend. A good place that I’ll never visit again until the club is sold. As a United fan from far, what I can