Memang prestasi sepak bola kita tidak bisa dibandingkan dengan prestasi sepak bola luar negeri seperti brasil, argentina, jerman, inggris dan lainnya yang sudah menjadi kiblat sepakbola dunia.
Indonesia adalah negara yang mencintai sepakbola. Dan dengan penduduk berjumlah lebih dari 200 juta pantas saja banyak yang mengharapkan sepakbola kita bisa mencapai level yang lebih tinggi. Tidak usah bicara dunia, tidak usah di asia, bahkan di tingkat asean pun kita masih mengelus-elus dada menatap hasil pertandingan.
Saya bukan pengamat ahli seperti kak Andi Bachtiar atau teman saya Pangeran Siahaan yang luar biasa pengetahuannya tentang sepakbola sampai ke statistik. Saya hanya menikmati pertandingan saja. Dan jelas level Indonesia negara saya tercinta ini jauh dari yang saya harapkan. Seperti banyak yang bilang, kalau nonton Indonesia jangan ngelihat hasil deh. Bayangkan kemarin ketika uruguay mencetak gol lewat suarez stadion GBK bergemuruh...lha itu kan tim lawan yang mencetak gol? bagi saya itu sudah bentuk frustasi akut terhadap sepakbola Indonesia.
Saya pun jadi berpikir kok nasib sepakbola negara kita tercinta seperti ini ya? sudah tahu akar masalahnya tapi tetap saja tidak mau merubah sistem (atau memang tidak mau). Dan saya pun membatin, untung saja kita mencetak gol lebih dulu jadi sempat merasakan leading sebelum dihajar oleh uruguay. Sebelum pertandingan sempat ada komentar-komentar positif mengenang era 70an di mana kita berhasil menang, arrgghhh...itu sudah lama! tidak ada relevansinya lagi hanya statistik saja(bukannya saya mengecilkan arti statistik).
Dan yang lebih ironis lagi komentator sepakbola negara kita ini semakin memperparah keadaan menurutku. Pada saat pertandingan vs uruguay dan kita leading, berlimpah pujian namun begitu kebobolan dan kalah...alasan yang dipakai adalah pemain kita kelelahan setelah kompetisi yang padat. Arghhh!!! memang pemain-pemain uruguay itu tidak menjalani kompetisi? malahhh lebih ketat dan mereka harus datang dari belahan benua lain untuk menjalani pertandingan persahabatan ini. Demi Tuhan, miris sekali mendengarnya.
“Sepakbola adalah refleksi sebuah bangsa,” demikian ucapan Franz Beckenbauer di Pemutaran Perdana 29 Film Resmi Piala Dunia 2006 seperti tertulis di blog Andi Bachtiar Yusuf. Dan saya pun tercengang membacanya dan dengan berat mengakui analogi tersebut dengan hati yang sebenarnya tidak rela.
Satu hal lagi, pada saat pertandingan, saya bertukar sms dengan teman saya dan dia mengungkapkan uneg-unegnya "ngapain sih mikirin sepakbola kita? udeehhh dukung aja tim kesayangan kita yang di eropa?" dan saya pun seperti tertohok. Di mana nasionalisme ditempatkan di hatinya? dan saya pun menjawab "mau sebobrok apapun itu, mau sebusuk apapun itu saya tetap akan mendukung timnas tercinta saya, Indonesia! untuk klub itu urusan lain...saya orang Indonesia". Saya bangga dengan negeri ini, dan hasil tidaklah penting bagi saya tapi bagaimana penampilan para penjuang kita di lapangan. Ini adalah soal harga diri bangsa! dan kembali jawabannya adalah REVOLUSI PSSI dan pembinaan pemain muda.
Gemuruh teriakan "Nurdin turun" dan "Buat apa Nurdin...Nurdin Halid tak ada gunanya" sudah cukup merepresentasikan suara hati seluruh rakyat Indonesia. Negara kita mempunyai banyak bakat, tapi akhirnya bakat-bakat muda itu pun memilih main di negara lain. Tapi yang harus diingat adalah bukan hanya Nurdin saja yang diganti. Percuma Nurdin diganti namun di balik itu masih ada para perusak sepakbola bermental licik.
Mungkin semua yang saya tulis ini tidak akan mengubah apapun di PSSI. Tapi setidaknya saya ingin menyuarakan suara hati saya meski hanya lewat blog ini. Sepakbola Indonesia harus bangkit!
Sementara menunggu revolusi, saya akan tetap setia mendukung timnas kita dan bersama menyanyikan lagu kebangsaan kita Indonesia Raya. Jangan lupakan itu, kita INDONESIA bersatu!
Indonesia adalah negara yang mencintai sepakbola. Dan dengan penduduk berjumlah lebih dari 200 juta pantas saja banyak yang mengharapkan sepakbola kita bisa mencapai level yang lebih tinggi. Tidak usah bicara dunia, tidak usah di asia, bahkan di tingkat asean pun kita masih mengelus-elus dada menatap hasil pertandingan.
Saya bukan pengamat ahli seperti kak Andi Bachtiar atau teman saya Pangeran Siahaan yang luar biasa pengetahuannya tentang sepakbola sampai ke statistik. Saya hanya menikmati pertandingan saja. Dan jelas level Indonesia negara saya tercinta ini jauh dari yang saya harapkan. Seperti banyak yang bilang, kalau nonton Indonesia jangan ngelihat hasil deh. Bayangkan kemarin ketika uruguay mencetak gol lewat suarez stadion GBK bergemuruh...lha itu kan tim lawan yang mencetak gol? bagi saya itu sudah bentuk frustasi akut terhadap sepakbola Indonesia.
Saya pun jadi berpikir kok nasib sepakbola negara kita tercinta seperti ini ya? sudah tahu akar masalahnya tapi tetap saja tidak mau merubah sistem (atau memang tidak mau). Dan saya pun membatin, untung saja kita mencetak gol lebih dulu jadi sempat merasakan leading sebelum dihajar oleh uruguay. Sebelum pertandingan sempat ada komentar-komentar positif mengenang era 70an di mana kita berhasil menang, arrgghhh...itu sudah lama! tidak ada relevansinya lagi hanya statistik saja(bukannya saya mengecilkan arti statistik).
Dan yang lebih ironis lagi komentator sepakbola negara kita ini semakin memperparah keadaan menurutku. Pada saat pertandingan vs uruguay dan kita leading, berlimpah pujian namun begitu kebobolan dan kalah...alasan yang dipakai adalah pemain kita kelelahan setelah kompetisi yang padat. Arghhh!!! memang pemain-pemain uruguay itu tidak menjalani kompetisi? malahhh lebih ketat dan mereka harus datang dari belahan benua lain untuk menjalani pertandingan persahabatan ini. Demi Tuhan, miris sekali mendengarnya.
“Sepakbola adalah refleksi sebuah bangsa,” demikian ucapan Franz Beckenbauer di Pemutaran Perdana 29 Film Resmi Piala Dunia 2006 seperti tertulis di blog Andi Bachtiar Yusuf. Dan saya pun tercengang membacanya dan dengan berat mengakui analogi tersebut dengan hati yang sebenarnya tidak rela.
Satu hal lagi, pada saat pertandingan, saya bertukar sms dengan teman saya dan dia mengungkapkan uneg-unegnya "ngapain sih mikirin sepakbola kita? udeehhh dukung aja tim kesayangan kita yang di eropa?" dan saya pun seperti tertohok. Di mana nasionalisme ditempatkan di hatinya? dan saya pun menjawab "mau sebobrok apapun itu, mau sebusuk apapun itu saya tetap akan mendukung timnas tercinta saya, Indonesia! untuk klub itu urusan lain...saya orang Indonesia". Saya bangga dengan negeri ini, dan hasil tidaklah penting bagi saya tapi bagaimana penampilan para penjuang kita di lapangan. Ini adalah soal harga diri bangsa! dan kembali jawabannya adalah REVOLUSI PSSI dan pembinaan pemain muda.
Gemuruh teriakan "Nurdin turun" dan "Buat apa Nurdin...Nurdin Halid tak ada gunanya" sudah cukup merepresentasikan suara hati seluruh rakyat Indonesia. Negara kita mempunyai banyak bakat, tapi akhirnya bakat-bakat muda itu pun memilih main di negara lain. Tapi yang harus diingat adalah bukan hanya Nurdin saja yang diganti. Percuma Nurdin diganti namun di balik itu masih ada para perusak sepakbola bermental licik.
Mungkin semua yang saya tulis ini tidak akan mengubah apapun di PSSI. Tapi setidaknya saya ingin menyuarakan suara hati saya meski hanya lewat blog ini. Sepakbola Indonesia harus bangkit!
Sementara menunggu revolusi, saya akan tetap setia mendukung timnas kita dan bersama menyanyikan lagu kebangsaan kita Indonesia Raya. Jangan lupakan itu, kita INDONESIA bersatu!
Komentar